PROPOSAL menjadi kata kunci bagi organisasi masyarakat (ormas) ataupun lembaga sosial ketika mencari dana. Paradigma itu harus digeser dengan upaya menjalankan organisasi berlandaskan kekuatan sendiri (mandiri), yakni ditopang dengan usaha.
Kemandirian bagi lembaga sosial keislaman bukan hal aneh. Apalagi banyak hadis yang menyatakan, "Muslim kuat lebih disenangi Allah daripada Muslim lemah" atau "Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah". Hal ini pula yang coba dilakukan Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) Muhammadiyah, Katapang, dan Pesantren Duafa Al Mukhlasin, Kec. Cangkuang, Kab. Bandung.
PSAA Muhammadiyah sejak tiga bulan lalu membuka warung jajanan bernama "Warung Riben". "Karena kaca depan warung berwarna hitam, kita namakan saja warung riben," kata penjaga Warung Riben, Entep Misbah, di warungnya, Minggu (18/10).
Entep merupakan salah seorang anak binaan PSAA Muhammadiyah yang termasuk senior, sehingga diamanahi menjaga warung. "Saya juga tidur di warung menjaga barang-barang," katanya.
Jumlah anak-anak yatim dan duafa yang dibina PSAA Muhammadiyah mencapai empat puluh orang, dari usia balita sampai siswa SMA/SMK. Setiap bulan, untuk biaya hidup ataupun sekolah, bisa mencapai Rp 7,5 juta lebih, sebagian diperoleh dari bantuan Departemen Sosial melalui Dinsos Jabar dan Dinsosdukcasip Kab. Bandung.
Untuk memenuhi kekurangannya, PSAA Muhammadiyah membuka warung. "Kalau tak salah, modal awalnya dari Pak Irsyal (pengelola PSAA-red.) dan istrinya. Warung juga ajang pembelajaran bagi anak-anak panti," ujarnya.
Apabila ada makanan yang tidak terjual, anak-anak asuh pun ketiban durian runtuh. "Warung menjual pempek palembang, tahu bulat, dan jajanan lainnya. Seminggu sekali anak-anak panti ikut menikmati makan di warung," katanya.
Usaha untuk menopang lembaga sosial juga sudah lama dilakukan Pesantren Duafa Al Mukhlasin, Kp. Babakan Peuteuy, Desa Ciluncat, Kec. Cangkuang. Pesantren yang kini membina 75 orang itu sudah makan asam garam berwirausaha. Pesantren pernah membuka usaha pertanian seperti cabe merah, kangkung, dan jagung dengan memanfaatkan tanah milik orang lain. Ketika pemilik tanah mengambil kembali tanahnya, usaha pun berhenti.
"Pernah pula beternak domba hingga mencapai tiga puluh ekor. Namun akibat keterbatasan lahan, usaha itu pun berhenti. Kami juga pernah beternak ayam kampung, malah santri sudah bisa membuat teknologi penetasan telur pakai listrik," kata Pengasuh Pesantren Al Mukhlashin, Mukhsyar Ali, Kamis (22/10), di rumahnya.
Saat ini, santri-santri fokus kepada usaha foto digital keliling dengan cakupan wilayah sampai Jawa Tengah, Banten, bahkan Sumatra. "Namun, usaha ini mulai pudar, sehingga kami sedang mencari usaha lain yang prospeknya baik. Kami memohon bantuan dermawan agar para santri bisa mendapatkan pekerjaan atau usaha di bidang lainnya," katanya. (Sarnapi/"PR")***
0 komentar:
Posting Komentar