Demo Site

Kamis, 22 April 2010

Membumikan Pesan Surat Al-Ma’un; Menegakkan Agama

“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna (al-mâ’un),” (QS Al-Ma’un [107]: 1-7)

Menegakkan agama dapat dimulai dari penerapan agama Islam dari diri sendiri, keluarga, dan memerhatikan masyarakat sekitar. Shalat, puasa, haji, dan mengentaskan umat Islam dari kemiskinan dan kebodohan merupakan ajang dalam penegakan agama. Salah satu upaya menegakkan agama dalam hidup bermasyarakat adalah dengan membumikan pesan surat al-Ma’un.

Dalam surat ini Allah berfirman, “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna (al-mâ’un),” (QS Al-Ma’un [107]: 1-7).

Perhatian Islam terhadap Kaum Papa
Islam memberikan perhatian yang mendalam terhadap orang-orang lemah, yaitu mereka yang miskin dan tertindas. Menurut Islam, beriman dan berislam tidak sempurna jika tidak diikuti oleh pemberian dan bantuan terhadap orang yang membutuhkan pertolongan. Dalam surat al-Ma’un dengan tegas Allah menyatakan bahwa orang yang mempunyai kelebihan harta tapi tidak membantu orang yang membutuhkan pertolongan disebut sebagai pendusta agama.

Terdapat beragam pendapat sekitar makna kata “al-mâ’un” yang terdapat dalam ayat tujuh. Qurthubi dalam kitab tafsirnya “al-Jâmi’ Li Ahkâmil Qur’ân,” menyebutkan ada 12 makna yang dinisbatkan para ulama atas kata “al-mâ’un”. Di antaranya adalah zakat harta, harta, barang yang berguna bagi kebutuhan rumah tangga, setiap barang yang ada manfaatnya, barang yang lazim dipergunakan oleh masyarakat untuk saling memberi, air, melarang kebaikan, dan lain sebagainya.

Isi surat al-Ma’un ini membicarakan beberapa sifat manusia yang dipandang sebagai mendustakan agama dan ancaman terhadap orang-orang yang melakukan shalat dengan lalai dan riya. Pesan mengemuka dalam surat al-Ma’un ini berbeda secara diametral dengan surat setelahnya, yaitu surat al-Kautsar. Surat al-Kautsar membicarakan sifat-sifat yang mulia dan perintah untuk mengerjakannya.

Surat al-Mau’un secara tegas menyatakan bahwa mereka yang menghardik anak yatim, tidak memberi makan orang-orang miskin, dan enggan mengeluarkan barang berguna untuk membantu mereka yang membutuhkan, termasuk orang yang mendustakan agama. Termasuk juga orang mendustakan agama adalah orang yang melalaikan shalat atau shalat karena riya’. Meskipun ulama berbeda pendapat seputar makna “al-Mâ’un”, yang harus diinsyafi adalah kategorisasi tentang sifat-sifat orang yang mendustakan agama yang terdapat dalam surat ini.

Cukuplah kiranya surat al-ma’un ini menyadarkan kita bahwa beriman dan berislam tidak sempurna jika kita tidak mempedulikan anak-anak yatim dan orang-orang miskin di sekitar kita. Kita harus membuang jauh-jauh anggapan bahwa keimanan terpisah dengan realitas sosial.

Belajar dari KH. Ahmad Dahlan
Al-Quran adalah kitab petunjuk untuk meraih kebahagian di dunia dan akhirat. Karena itu, petunjuk Al-Quran harus diamalkan, tidak hanya dipahami dan dimengerti saja. Hanya itulah jalan satu-satunya meraih kebahagian dunia dan akhirat. Sayangnya, banyak dari umat Islam yang hanya membaca Al-Quran, tapi tidak memahami maknanya, apalagi mengamalkan pesannya.

Al-Quran dibaca sekedar untuk meraih pahala disisi-Nya tanpa diiringi usaha memahami maknanya untuk kemudian diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut KH. Ahmad Dahlan —pendiri Muhammadiyah, dalam mempelajari Al-Quran, umat Islam tidak boleh beranjak kepada ayat berikutnya sampai ia benar-benar paham arti dan tafsirnya serta dapat mengimplementasikan pesan ayat tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Ada cerita yang cukup terkenal di kalangan Muhammadiyah dan sering diceritakan ulang, berkenaan dengan cara KH. Ahmad Dahlan mengajarkan surah surat al-Ma’un kepada para murid-muridnya. Diceritakan bahwa KH. Ahmad Dahlan berulang-ulang mengajarkan surat al-Ma’un dalam jangka waktu yang lama dan tidak mau beranjak kepada ayat berikutnya, meskipun murid-muridnya sudah mulai bosan.

Dihimpit oleh rasa bosan karena KH. Ahmad Dahlan terus-menerus mengajarkan surat al-Mau’un, akhirnya salah seorang muridnya, H. Syuja’, bertanya mengapa Kiyai Dahlan yang tidak mau beranjak untuk mempelajari pelajaran selanjutnya. Lantas Kiyai Dahlan balik bertanya, “Apakah kamu benar-benar memahami surat ini?” H. Syuja’ menjawab bahwa ia dan teman-temannya sudah paham betul arti surat tersebut dan menghafalnya di luar kepala. Kemudian Kiyai Dahlan bertanya lagi, “Apakah kamu sudah mengamalkannya?” jawab H. Syuja’, “Bukankah kami membaca surat ini berulang kali dalam sewaktu salat?”

Kiyai Dahlan lalu menjelaskan bahwa maksud mengamalkan surat al-Ma’un bukan menghafal atau membaca, tapi lebih penting dari itu semua, adalah melaksanakan pesan surat al-Ma’un dalam bentuk amalan nyata. “Oleh karena itu’, lanjut Kiyai Dahlan, “setiap orang harus keliling kota mencari anak-anak yatim, bawa mereka pulang ke rumah, berikan sabun untuk mandi, pakaian yang pantas, makan dan minum, serta berikan mereka tempat tinggal yang layak. Untuk itu pelajaran ini kita tutup, dan laksanakan apa yang telah saya perintahkan kepada kalian.” (dikutip dari buku “Teologi Pembaharuan” karya Dr. Fauzan Saleh). Cerita Kiyai Ahmad Dahlan di atas menggambarkan bagaimana seharusnya ayat-ayat Al-Quran dipelajari, yakni tidak beranjak ke ayat lain sebelum memahami dan mengamalkan isi pesan ayat tersebut.

Saat ini, negeri kita belum bisa terbebas dari jeratan kemiskinan. Maka membumikan pesan al-Ma’un, yaitu mencurahkan perhatian pada anak-anak yatim dan orang-orang miskin dan membantu mereka, adalah sebuah keniscayaan. Ini penting bagi kita, bukan hanya agar kita tidak menjadi kaum pendusta agama, tapi juga sebagai langkah awal untuk mengakhiri penderitaan mereka yang tidur dalam keadaan perut lapar, kedinginan di bawah kolong-kolong jembatan, dan anak-anak balita yang busung lapar.
Selengkapnya...

Ikon ini merupakan link ke situs bookmark sosial dimana pembaca dapat berbagi dan menemukan halaman web baru.
  • Digg
  • Sphinn
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • Rabu, 21 April 2010

    Mandiri Lewat "Saung Riben"

    PROPOSAL menjadi kata kunci bagi organisasi masyarakat (ormas) ataupun lembaga sosial ketika mencari dana. Paradigma itu harus digeser dengan upaya menjalankan organisasi berlandaskan kekuatan sendiri (mandiri), yakni ditopang dengan usaha.
    Kemandirian bagi lembaga sosial keislaman bukan hal aneh. Apalagi banyak hadis yang menyatakan, "Muslim kuat lebih disenangi Allah daripada Muslim lemah" atau "Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah". Hal ini pula yang coba dilakukan Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) Muhammadiyah, Katapang, dan Pesantren Duafa Al Mukhlasin, Kec. Cangkuang, Kab. Bandung.
    PSAA Muhammadiyah sejak tiga bulan lalu membuka warung jajanan bernama "Warung Riben". "Karena kaca depan warung berwarna hitam, kita namakan saja warung riben," kata penjaga Warung Riben, Entep Misbah, di warungnya, Minggu (18/10).
    Entep merupakan salah seorang anak binaan PSAA Muhammadiyah yang termasuk senior, sehingga diamanahi menjaga warung. "Saya juga tidur di warung menjaga barang-barang," katanya.
    Jumlah anak-anak yatim dan duafa yang dibina PSAA Muhammadiyah mencapai empat puluh orang, dari usia balita sampai siswa SMA/SMK. Setiap bulan, untuk biaya hidup ataupun sekolah, bisa mencapai Rp 7,5 juta lebih, sebagian diperoleh dari bantuan Departemen Sosial melalui Dinsos Jabar dan Dinsosdukcasip Kab. Bandung.
    Untuk memenuhi kekurangannya, PSAA Muhammadiyah membuka warung. "Kalau tak salah, modal awalnya dari Pak Irsyal (pengelola PSAA-red.) dan istrinya. Warung juga ajang pembelajaran bagi anak-anak panti," ujarnya.
    Apabila ada makanan yang tidak terjual, anak-anak asuh pun ketiban durian runtuh. "Warung menjual pempek palembang, tahu bulat, dan jajanan lainnya. Seminggu sekali anak-anak panti ikut menikmati makan di warung," katanya.
    Usaha untuk menopang lembaga sosial juga sudah lama dilakukan Pesantren Duafa Al Mukhlasin, Kp. Babakan Peuteuy, Desa Ciluncat, Kec. Cangkuang. Pesantren yang kini membina 75 orang itu sudah makan asam garam berwirausaha. Pesantren pernah membuka usaha pertanian seperti cabe merah, kangkung, dan jagung dengan memanfaatkan tanah milik orang lain. Ketika pemilik tanah mengambil kembali tanahnya, usaha pun berhenti.
    "Pernah pula beternak domba hingga mencapai tiga puluh ekor. Namun akibat keterbatasan lahan, usaha itu pun berhenti. Kami juga pernah beternak ayam kampung, malah santri sudah bisa membuat teknologi penetasan telur pakai listrik," kata Pengasuh Pesantren Al Mukhlashin, Mukhsyar Ali, Kamis (22/10), di rumahnya.
    Saat ini, santri-santri fokus kepada usaha foto digital keliling dengan cakupan wilayah sampai Jawa Tengah, Banten, bahkan Sumatra. "Namun, usaha ini mulai pudar, sehingga kami sedang mencari usaha lain yang prospeknya baik. Kami memohon bantuan dermawan agar para santri bisa mendapatkan pekerjaan atau usaha di bidang lainnya," katanya. (Sarnapi/"PR")***
    Selengkapnya...

    Ikon ini merupakan link ke situs bookmark sosial dimana pembaca dapat berbagi dan menemukan halaman web baru.
  • Digg
  • Sphinn
  • Delicious
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati
  • Credits

    Templates Editor : Adi Winardi
    Concepts, Themes & Data : Irsal Zuliansyah
    Blog Tutorial : Rohman Abdul Manaf
    Original Templates : Beta Templates

    Follower